Sritex Pailit, Peringatan Darurat Industri Tekstil di Indonesia

Oleh: Ahmad Jundi Khalifatullah (Ketua Umum PP KAMMI)

Perjalanan Sejarah Industri Tekstil di Indonesia

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia punya sejarah gemilang dan kontribusi besar menopang ekonomi kebangsaan dan kerakyatan.

Sejak dimodernisasi dengan berdirinya Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) pada 1922, Industri ini terus mengepakkan sayapnya.

Melalui perusahaan-perusahan tekstil seperti Sritex produk lokal Indonesia bisa merambah ke mancanegara.

Pada 1994 misalnya, perusahaan ini pernah memasok seragam militer di 30 negara dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Produk tekstil Sritex pun sudah merambah pasar di 55 negara di seluruh dunia, antara lain Australia, Jerman, Hongkong dan Amerika Serikat.

Selain menjadi ajang promosi produk nasional, industri tekstil sejak dahulu kala telah menjadi sektor padat karya yang paling banyak menyedot pekerja.

Laporan dalam buku The Emergence of A National Economy; An Economic History of Indonesia, 1800-2000 karya Howard W Dick dan Vincent Houben menyebutkan sebuah perusahaan tekstil di Surabaya pada tahun 1938 telah mempekerjakan buruh sebanyak 4.000 orang.

Sritex Dinyatakan Pailit

Dibalik kegemilangan sejarah pertekstilan Indonesia tersebut, kini Industri ini tengah mengalami guncangan hebat. Korban terbaru adalah PT Sri Rezeki Isman Tbk atau Sritex yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang melalui perkara dengan nomor 2/pdt. Sus Homologasi/2024/PN Niaga sgm pada Senin, 21 Oktober 2024.

Sritex dianggap gagal memenuhi kewajiban membayar hutang kepada PT Indo Bharat Rayon sesuai kesepakatan mereka pada tahun 2022.

Padahal perusahaan yang didirikan di pasar Klewer Solo pada 1966 oleh H.M. Lukminto ini pernah merajai industri tekstil di Indonesia.

Tidak hanya itu mereka juga dipercaya oleh NATO pada 1994 untuk memasok seragam militernya.

Bahkan Sritex juga mampu bertahan dalam krisis moneter 1998 dan berhasil melantai ke bursa efek tahun 2013 dengan kode saham SRIL.

Meskipun punya sejarah panjang kesuksesan, sejak 2021 Sritex mulai menghadapi krisis keuangan yang sangat serius. Sahamnya disuspensi sejak Mei 2021 akibat dari keterlambatan pembayaran bunga dan pokok MTN (Medium Term Notes).

Utang perusahaan pun terus membengkak dengan total liabilitas mencapai sekitar Rp24,3 triliun per September 2023.

Puncaknya mereka dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang pada 21 Oktober 2024 dikarenakan gagal membayar hutang kepada pihak ketiga.

Kondisi dan Penyebab Industri Tekstil Indonesia Meringkih

Sritex adalah salah satu bukti bahwa industri tekstil di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Pasar ekspor yang dulunya menjadi primadona terpengaruh berat akibat krisis geopolitik Eropa Timur dan permintaan pasar global yang melesu.

Data BPS 2023 menunjukkan kinerja ekspor industri tekstil Indonesia melemah di tahun 2023.

Pada 2023 volume ekspor industri tekstil nasional mencapai 1,49 juta ton, turun 2,43 persen dibanding 2022. Nilai ekspornya juga merosot 14,78 persen, menjadi sekitar $3,6 miliar. Kinerja ekspor industri tekstil Indonesia sudah melemah dua tahun beruntun, 2022 dan 2023. Bahkan 2023 volume ekspornya lebih kecil dibanding masa pandemi, serta menjadi rekor terendah dalam sembilan tahun terakhir.

Selain ekspor yang melemah, industri tekstil nasional juga mengalami tantangan berat dari produk impor China yang membanjiri Indonesia.

Data Kementerian Keuangan misalnya, catatan barang impor ke Indonesia pada 2018 hanya 5 juta per tahun, lalu melonjak seperti air bah ke 60 juta per tahun pada 2019-2023.

Selain itu Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan terdapat sekitar 28.480 kontainer tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal masuk ke Indonesia setiap tahunnya.

Kondisi ini membuat industri tekstil nasional meringkih dan mulai gulung tikar satu per satu.

Akibatnya banyak perusahaan tekstil melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya. Data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) sepanjang Januari hingga Juni 2024 industri tersebut telah memecat 13.800 buruh buntut dari sepinya permintaan pasar yang disebabkan banjirnya barang impor dari China.

Selain itu data INDEF menunjukkan jumlah tenaga kerja sektor tekstil tersisa 957.122 orang pada 2024. Jumlah ini turun drastis dibanding pada 2015 yakni sebanyak 1.248.080 orang.

Peran Pemerintah

Dalam 5 tahun terakhir Pemerintah belum terlalu serius dalam menemukan solusi dari mandeknya industri tekstil tanah air.

Hal itu terlihat dari sejumlah kebijakan yang masih tarik ulur. Misalnya kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang sampai hari ini belum dilaksanakan untuk melindungi industri tekstil dalam negeri.

Pemerintah juga terlihat kebingungan dengan berubahnya aturan dalam waktu singkat, salah satunya instrumen tata Niaga impor yang diatur dalam Permendag 36/2023.

Peraturan ini sudah direvisi hingga 3 kali dengan terbitnya Permendag 8/2024. Kebijakan terbaru ini telah menghilangkan peraturan teknis (pertek) yang harus dikeluarkan oleh Kementrian Perindustrian sebagai syarat masuknya barang impor.

Langkah ini justru memberikan ruang terbuka bagi barang impor khususnya dari China dengan mudah masuk ke Indonesia.

Jangka panjangnya industri tekstil yang notabene didominasi oleh Industri Kecil Menengah (IKM) akan kalah saing dengan barang impor yang jauh lebih murah dari produksi lokal.

Pemerintah mestinya tetap menerapkan kebijakan pertek sebagai langkah memperketat laju barang impor.

Di sisi lain pembinaan yang dilakukan Kemenperin belum sepenuhnya mampu menjangkau perusahaan industri tekstil secara keseluruhan.

Hal itu terlihat dari kebijakan insentif yang dikeluarkan Kemenperin sebesar Rp52 miliar untuk program restrukturisasi mesin industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tahun 2024 hanya menjangkau 59 perusahaan tekstil.

Padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 ada 2.027 perusahaan tekstil di Indonesia. Angka itu terdiri dari 1.320 perusahaan tekstil skala menengah dan 707 skala besar.

Pemerintah melalui Kemenperin harusnya lebih memperhatikan perusahaan tekstil ini bukan hanya segelintir perusahaan.

Pasalnya industri tekstil selama ini telah menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusi industri ini cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor manufaktur non-migas yakni 5,97% pada tahun 2023.

Rekomendasi

Ada beberapa rekomendasi kiranya yang dapat dilakukan Pemerintah khususnya Kemenperin dan Kemendag;

Pertama, pemerintah harus mencari pasar internasional baru untuk produk tekstil Indonesia di tengah lesunya permintaan internasional akibat perang Rusia vs Ukraina.

Pemerintah mesti lebih banyak menyasar kerjasama internasional dengan negara-negara timur tengah yang belum maksimal digarap.

Kemenperin mencatat, Indonesia mengekspor tekstil dan pakaian ke negara-negara Timur Tengah sekitar 5,4% dari total ekspor TPT nasional atau senilai US$753 juta. Artinya, baru memiliki market share 1,5%.

Kedua, pemerintah tidak boleh hanya memperhatikan dan menyelamatkan satu perusahaan.

Sebab ada 2.027 perusahaan tekstil di Indonesia yang membutuhkan perhatian mendalam dari negara.

Menyelematkan satu perusahaan dan mengatirikan usaha lainnya sama dengan membunuh industri tekstil nasional.

Ketiga, pemerintah wajib memberikan jaminan sosial kepada para pekerja yang terdampak langsung dari lesunya industri tekstil.

Kebijakan ini dilakukan untuk menghindari penurunan daya beli dan bertambahnya masyarakat yang masuk kelompok miskin.

Keempat, pemerintah tidak perlu melakukan bailout atau memberikan dana talangan kepada perusahaan yang dinyatakan pailit.

Bailout hanya akan membebani APBN padahal negara sedang mengalami defisit 153,7 triliun per Agustus 2024.

Pemerintah harus mendorong perusahaan seperti Sritex untuk melakukan bail in dengan menjual aset non-inti perusahaan demi melunasi hutang kepada pihak ketiga.

Kelima, Kemendag harus segera mencabut dan merevisi aturan Permendag 8/2024 demi menjaga industri tekstil nasional.

Aturan ini telah memberikan ruang terbuka bagi produk impor untuk membanjiri pasar Indonesia. Sudah selayaknya pemerintah serius melalui revisi aturan tersebut.

Keenam, insentif secara komperhensif dan pruden terhadap perusahaan tekstil nasional mutlak dibutuhkanx seperti, insentif kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) khususnya untuk industri tekstil, pemberian insentif listrik dan cashback investasi mesin sebagaimana yang dilakukan pemerintah China.

Selain itu yang tak kalah penting pemerintah harus memudahkan pemberian modal kerja kepada perusahaan tekstil nasional khususnya perbankan yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Back To Top