Jokowi dan Praktik Kekuasaan Jawa

Oleh: Okza Hendrian., M.A
Analyst Adatu Research and Insight

Mataram – Baru-baru ini Bahlil Lahadalia yang menjabat sebagai menteri ESDM dan ketua umum partai Golkar menyebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai sosok “raja Jawa” dalam sebuah pernyataan yang mengundang perhatian publik.

Beberapa kalangan berkomentar bahwa itu adalah penggambaran kekuasaan Jokowi yang kuat dan otoritatif.

Jokowi yang dulunya diolok-olok sebagai seorang presiden boneka kini berubah menjadi sosok yang kuat dan otoritatif. Terlepas dari pro dan kontra dengan gaya kepemimpinannya, banyak kalangan yang mengkaji bagaimana Jokowi memperoleh pengaruh yang kuat dikalangan masyarakat.

Sebagai seorang Jawa, Jokowi telah mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip kekuasaan Jawa dalam kepemimpinannya. Kemudian tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip-prinsip kekuasaan Jawa ini salah satu dari sekian banyak faktor yang membawanya menuju puncak kekuasaan.

Wibawa dalam Kesederhanaan dalam budaya Jawa, kekuasaan sering tidak diukur dari kekuatan militer atau kekayaan, tetapi dari wibawa—aura otoritas dan kharisma yang membuat orang-orang secara alami tunduk dan menghormati pemimpin. Konsep ini dijelaskan secara mendalam oleh G. Moedjanto dalam bukunya “Kekuasaan dan Wibawa di Jawa” (1987), di mana ia menekankan bahwa wibawa adalah elemen penting dari kekuasaan Jawa, yang lebih bersifat simbolis dan kultural.

Jokowi telah menunjukkan wibawa dalam kesederhanaannya. Sejak awal kemunculannya di panggung politik nasional, ia dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, jauh dari kemewahan dan formalitas.

Menurut Okza, Kesederhanaan ini bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang memperkuat citranya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Seperti yang dicatat oleh Dr. Joko Susanto dari Universitas Gadjah Mada, kesederhanaan Jokowi memperkuat wibawa dan kharismanya, membuatnya dihormati bukan karena kekuatan otoritas, tetapi karena dipersepsikan dekat dengan rakyat.

Harmoni dan Konsensus
Prinsip lain dari kekuasaan Jawa adalah pentingnya menjaga harmoni dan konsensus. Dalam budaya Jawa, konflik terbuka dan konfrontasi sering dihindari demi menjaga keseimbangan sosial. Jokowi tampaknya menerapkan prinsip ini dalam pendekatan politiknya. Menurut Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960), nilai-nilai harmoni dan konsensus sangat diutamakan dalam budaya Jawa, di mana pemimpin diharapkan mampu menjaga kedamaian dan keselarasan sosial.

Jokowi sering kali menghindari konfrontasi langsung dan lebih memilih pendekatan yang mengedepankan konsensus. Misalnya, dalam memilih anggota kabinet, ia cenderung merangkul berbagai kelompok politik untuk menjaga keseimbangan.

Kemudian pembentukkan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) juga disinyalir dioperatori oleh istana. Pendekatan ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang pentingnya konsensus dalam mempertahankan stabilitas politik, seperti yang dijelaskan oleh Prof. R. William Liddle dari Ohio State University, bahwa gaya kepemimpinan Jokowi adalah manifestasi dari upayanya untuk memadukan tradisi dan modernitas dalam menjaga harmoni.

Harmoni penting karena untuk stabilitas politik, jika politik stabil maka kecenderungan agenda politik pemerintah dapat dilaksanakan.

Ciri khas lain dari konsep kekuasaan Jawa adalah pemerintahan tidak langsung. Dalam buku “Kekuasaan dan Wibawa di Jawa”, Moedjanto juga mencatat bahwa raja-raja Jawa sering mendelegasikan tugas-tugas administratif kepada para birokrat, sementara mereka sendiri menjaga wibawa dan otoritas mereka melalui penampilan simbolis dan ritual.

Dari pengamatan Okza, Jokowi dalam kepemimpinannya, sering mendelegasikan tugas-tugas teknis kepada menteri-menterinya, sementara ia fokus pada visi yang lebih besar dan menjaga hubungan dengan masyarakat.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Marcus Mietzner dalam Indonesia’s 2014 Presidential Elections: How Jokowi Won and Democracy Survived (2014), terlihat bahwa Jokowi lebih banyak berperan sebagai pengarah dan penentu arah kebijakan, sementara detail eksekusi diserahkan kepada para birokrat. Ini menunjukkan bahwa Jokowi mengadopsi prinsip pemerintahan tidak langsung yang juga ada dalam tradisi kepemimpinan Jawa.

Simbolisme dan Ritual Modern meskipun tidak menggunakan ritual tradisional Jawa secara langsung, Jokowi telah mengadopsi bentuk simbolisme modern yang memperkuat citranya sebagai pemimpin yang peduli dan dekat dengan rakyat. Misalnya, penampilannya saat mengendarai motor di jalanan atau ketika menghadiri acara-acara dengan pakaian yang sederhana adalah bagian dari simbolisme yang menegaskan identitasnya sebagai pemimpin yang tidak berjarak dengan rakyat.

Studi oleh Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dalam Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? (2020) menunjukkan bahwa Jokowi menggunakan simbolisme untuk memperkuat legitimasinya di mata publik, serupa dengan bagaimana pemimpin Jawa tradisional menggunakan simbol dan ritual untuk membangun otoritas.

Sebagai seorang Jawa, Jokowi tidak hanya memimpin dengan pendekatan yang pragmatis dan modern, tetapi juga dengan memanfaatkan elemen-elemen tradisional dari konsep kekuasaan Jawa. Dari wibawa yang dibangun melalui kesederhanaan, pendekatan konsensus yang menjaga harmoni, hingga penggunaan simbolisme yang kuat, Jokowi telah menunjukkan bahwa warisan budaya Jawa masih sangat relevan dalam politik kontemporer Indonesia.

Dengan menggabungkan tradisi dan modernitas, Jokowi tidak hanya berhasil mengumpulkan kekuasaan, tetapi juga mempertahankannya dengan cara yang unik dan khas.

Terakhir Okza menyampaikan, Kepemimpinannya menjadi contoh bagaimana nilai-nilai budaya lokal dapat memberikan kekuatan dan legitimasi dalam dunia politik yang semakin kompleks dan dinamis.

 

Back To Top