Beasiswa NTB Lanjutkan?

Oleh: Okza Hendrian., M.A (Pengamat Kebijakan Publik)

Baru-baru ini, kebijakan pemerintah yang mengizinkan penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk tidak wajib kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi di luar negeri telah memicu perdebatan di masyarakat. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menyatakan bahwa alumni beasiswa LPDP dapat berkarya di mana saja, baik di dalam maupun di luar negeri, tanpa dikenai sanksi jika memilih tidak kembali ke tanah air.

Imbas dari hangatnya isu tersebut memantik kembali perdebatan program 1000 cendekia besutan Bang Zul oleh berbagai kalangan di jagat maya. Sebagian kalangan tetap mempertanyakan kontribusi langsung program ini dikarenakan program tersebut sebagian besar disupport melalui dana APBD. Disisi lain, dikarenakan Alumni tidak diwajibkan kembali ke daerah, hal ini dinilai tidak mampu memberikan output real untuk pembangunan NTB.

Timbul pertanyaan apakah ROI (Return of Investment) dari program ini masuk akal atau justru menjadi investasi yang perlu dievaluasi pada masa kepemimpinan selanjutnya?.

Bak angin segar bagi kalangan yang mendukung secara penuh program ini serta menjawab keraguan masyarakat tentang tanda tanya besar terkait pemikiran out of the box dari mantan Gubernur NTB sebelumnya (Bang Zul). Secara faktual kita ketahui bahwa referensi utama dari program 1000 cendekia adalah LPDP. Hal ini disampaikan oleh beberapa alumni LPDP yang secara khusus mengelola program ini.

Disisi lain, yang tidak kalah menarik ialah apa yang jauh dipikirkan oleh Bang Zul sebelumnya justru menjadi trajectory bagi program beasiswa bergengsi seperti LPDP. Seperti yang kita ketahui, program LPDP adalah program yang mengharuskan Alumninya untuk mengabdi di Indonesia, bahkan secara serius mengenakan sanksi bagi mereka yang tidak kembali.

Pernyataan orang nomor 1 di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, baru-baru ini terkait Alumni yang tidak diwajibkan kembali dihubungkan dengan pemikiran visioner Bang Zul terkait beasiswa daerah besutannya. Secara tidak langsung, perubahan kebijakan LPDP cukup menjawab keraguan beberapa kalangan yang mempertanyakan rasionalitas skema program beasiswa NTB.

Kembali tidaknya Berkontribusi ke Daerah

Dalam pernyataannya Satryo menyoroti pentingnya kontribusi alumni yang bekerja di luar negeri, seperti melalui inovasi dan prestasi yang tetap membawa nama baik Indonesia di kancah internasional. Menurutnya, selama para alumni tetap menjunjung semangat nasionalisme dan berkontribusi positif, keberadaan mereka di luar negeri dapat memberikan manfaat bagi Indonesia.

Hal ini tentu menyela perdebatan publik terkait dengan lokus kontribusi Alumni beasiswa yang berasal dari APBD/N walaupun pandangan tersebut masih memunculkan perdebatan, akan tetapi memberikan perspektif baru dalam hal penekanan membawa nama baik Indonesia dan menjunjung semangat nasionalisme.

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bang Zul dalam beberapa kesempatan, bahwa para Alumni beasiswa NTB didukung untuk berkarir dimanapun. Karena kerinduan terhadap kampung halaman tak terlekang oleh waktu. Ini menunjukkan rasa kontribusi yang selalu terpatri serta bersifat naluriah. Berbeda tempat atau tanggungjawab tidak menjadi soal.

Di luar negeri ada remitten yang menjadi devisa. Devisa didistribusikan untuk pembangunan daerah. Di luar daerah kiranya mereka mampu meningkatkan ekonomi keluarga dikampung halaman. Tentu banyak kontribusi lain yang lebih canggih. Hal itu hanyalah contoh sederhana yang sekiranya awardee (Sebutan untuk penerima beasiswa) dapat lakukan.

Namun, harus diakui tidak semua kalangan berpikir demikian.“Tidak ada bulan madu yang panjang” begitulah kata pepatah. Pasca mengenakan toga kelulusan, tuntutan akan kontribusi untuk Indonesia dan daerah memanggil. Hal ini muncul dari kalangan yang ingin melihat output dari program ini melalui parameter kontribusi alumni.

Sebagian orang menilai luaran program ini adalah mereka para alumni yang wajib untuk berkontribusi di daerah. Kendati sebagaimana yang kita ketahui bahwa tidak ada perjanjian tertulis Alumni untuk wajib kembali ke daerah. Kewajiban kembali ke daerah itu datang dari beberapa kalangan yang menilai luaran investasi dari kebijakan ini haruslah berdampak langsung untuk daerah.

Lebih jauh awardee yang kembali pun dipertanyakan bentuk kontribusinya.

Percakapan publik tersebut membawa kita pada bias kontribusi. Sebagai contoh ialah Alumni yang first landing nya gagal (tidak mendapat pekerjaan) akan memengaruhi persepsi masyarakat terhadap keberhasilan program. Disisi lain, ada alumni yang sudah bekerja tapi kurang terekspos. Subjektivitas penilaian ini selalu menciptakan pro-kontra. Lebih jauh gelar S2 tidak selalu menjamin pekerjaan. Sebagian orang menilai gelar S2 adalah golden tiket untuk mendapatkan pekerjaan yang mentereng.

Kompleksitas faktor seperti isu labour market, kesempatan kerja, dll tentu memberikan pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Dan hal ini terkadang jauh dari radar kita terlebih masyarakat awam. Disamping itu, kontribusi tidak harus berupa pekerjaan di sektor formal. Alumni yang kembali ke komunitas dan melakukan pemberdayaan adalah bentuk-bentuk kontribusi yang tidak ternilai.

Lebih jauh, melampaui subjektivitas terkait kontribusi, hal ini tidak dapat menggeser fakta bahwa ada sekitar 6000 putra-putri NTB yang telah memperoleh manfaat pendidikan serta mengangkat ekonomi keluarganya.

Isu Pendidikan atau Dominan Politik?

Tidak seperti LPDP, disamping isu kebijakan program beasiswa NTB lebih jauh juga disangkut pautkan dengan perayaan pesta demokrasi daerah yakni Pilkada. Hal ini dikarenakan program beasiswa tersebut terafiliasi dengan salah satu paslon petahana yakni Dr. Zulkieflimansyah atau akrab disapa Bang Zul.

Program ini menjadi salah satu program unggulan dari Bang Zul. Persepsi publik mengenai program ini serta akan dilanjutkan atau tidak tentu akan memengaruhi Bang Zul sebagai pencetus utama program tersebut. Perdebatan terkait program ini semakin meruncing baik di sosial media dan saluran berita lokal ketika mendekati pemilihan kepala daerah. Kritikan acap kali berasal dari pesaing atau kandidat lain misalnya mengenai evaluasi program secara menyeluruh dan skema pendanaan yang melanggar kewenangan daerah. Hal ini semua tentu telah dibantah.

Terlepas dari kritikan tersebut, program ini semakin populer apalagi Bang Zul di periode keduanya menjanjikan 10.000 beasiswa. Tentu ini menjadi angin segar bagi anak muda yang dihadapkan dengan berbagai tantangan dan ketidakpastian. Pilihan untuk bersekolah/ melanjutkan studi dibuka selebar-lebarnya untuk meningkatkan SDM NTB.

Investasi Pendidikan Untung atau Buntung?

Hal yang paling utama yang harus disadari ialah investasi pendidikan adalah program jangka panjang. Dalam buku The Economics of Education, Mark Blaug menjelaskan bahwa investasi dalam pendidikan sering kali menghasilkan “return” yang tak langsung, yang baru bisa dirasakan di masa depan ketika para alumni berhasil di bidangnya dan mulai memberikan kontribusi balik melalui berbagai bentuk.

Jadi, walaupun alumni program 1000 Cendekia NTB tidak kembali ke Indonesia atau daerah secara langsung, mereka tetap membawa dampak melalui pengalaman, pengetahuan, dan kontribusi finansial yang mereka salurkan. Alumni-alumni dari program ini telah tersebar dengan tanggungjawab karir masing-masing. Ada yang bekerja diluar negeri di luar kota dan membangun daerah sendiri. Hal ini sesuai dengan visi dari pencetus program yakni Bang Zul yang tidak menuntut mereka untuk kembali.

Selain itu, tentu setiap program ada kritik dan ada masukkan yang bisa menjadi perbaikan kedepannya. Akan tetapi setiap orang juga harus aware terkait dengan konteks kritik yang disampaikan. Apakah kritik tersebut berbasis solusi real untuk perbaikan program atau justru untuk kepentingan jangka pendek seperti politik dll. Dalam hal ini hanya publik yang bisa menilai.

Back To Top