Oleh: Okza Hendrian., S.I.P., M.A
Analist Asatu Reseach and Insight
Dalam dekade terakhir, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi sorotan karena berbagai kebijakan yang dianggap mengancam prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. Salah satu kritik utama yang muncul adalah penggunaan “legalisme otokratik,” di mana kekuasaan dijalankan melalui mekanisme hukum yang formal tetapi memiliki tujuan otoriter.
Menurut Okza, Legalisme otokratik ini tercermin dalam berbagai tindakan pemerintah yang memanfaatkan kerangka hukum untuk memperkuat kendali eksekutif, mengikis peran lembaga-lembaga pengawasan, dan membungkam oposisi. Beberapa contoh yang sering diangkat termasuk revisi Undang-Undang KPK, yang dipandang melemahkan lembaga antikorupsi, serta perubahan syarat-syarat pencalonan presiden yang dinilai menguntungkan elite politik tertentu.
Meskipun tindakan-tindakan ini dilakukan dalam kerangka hukum yang sah, banyak yang berpendapat bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk memperkuat kekuasaan presiden dan partai pendukungnya, sementara ruang untuk kritik dan oposisi semakin dibatasi. Ini berpotensi membawa Indonesia menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.
Penggunaan legalisme otokratik oleh Jokowi juga mencerminkan fenomena global di mana pemimpin-pemimpin populis menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan mereka sambil menghindari tuduhan pelanggaran hukum. Jika tren ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia bisa terancam oleh otoritarianisme yang tersembunyi di balik fasad legalitas, ujar Okza.
Okza menambahkan, penting bagi masyarakat sipil, akademisi, dan seluruh elemen bangsa untuk terus kritis dan waspada terhadap upaya-upaya yang dapat mengikis fondasi demokrasi di negeri ini. Pemerintahan yang sehat adalah pemerintahan yang terbuka terhadap kritik dan yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan elite penguasa.
Praktik otak-atik hukum untuk kekuasaan baru-baru ini kembali terjadi. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa revisi UU Pilkada pada Agustus 2024 oleh DPR dioperatori oleh istana. Pada 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah, serta menolak uji materi tentang batas usia minimal calon kepala daerah. Meskipun demikian, Baleg DPR RI langsung mengadakan rapat pada 21 Agustus untuk merevisi UU Pilkada, yang sebagian isinya bertentangan dengan putusan MK.
Upaya DPR ini memicu gerakan “Darurat Indonesia” setelah publik merasa bahwa DPR mencoba mengabaikan putusan MK, yang seharusnya bersifat final dan mengikat. Protes besar-besaran dari masyarakat pada 22 Agustus memaksa DPR untuk membatalkan sidang paripurna yang direncanakan untuk membahas RUU Pilkada, lanjut Okza.
Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan eksekutif dan legislatif bisa berkolaborasi untuk menggunakan hukum secara formal guna mencapai tujuan otoritarian, sementara lembaga peradilan seperti MK berusaha menjaga integritas demokrasi. Legalisme otokratik, dalam hal ini, mengancam prinsip demokrasi karena mencoba mengubah hukum demi kepentingan politik tertentu, meskipun ada keputusan hukum yang bertentangan.
Masyarakat, melalui gerakan “Darurat Indonesia,” menunjukkan bahwa perlawanan terhadap upaya semacam ini penting untuk mempertahankan demokrasi yang sehat. Kasus ini menggarisbawahi perlunya kewaspadaan dan partisipasi aktif dari masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang tersembunyi di balik legalitas formal, beber okza.
Pada akhirnya, hukum harus tetap menjadi alat untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara, bukan sebagai senjata untuk memperkuat otoritarianisme. Peran aktif masyarakat dan lembaga pengawas sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan hukum oleh pihak-pihak yang berkuasa.