Pak Menteri Nadiem Makarim, mungkin cerita kecil ini ada gunanya untuk pertimbangan terkait kebijakan UKT.
Saya masuk kuliah tahun 1988, selesai 1992. Persis 8 semester. Saya harus bayar uang SPP sebesar 120 ribu rupiah untuk setiap semester.
Tidak mahal, tapi tidak murah juga. Tidak semua anak rakyat sanggup bayar uang kuliah sebesar itu.
Jadi, selama 8 semester, total uang SPP saya adalah sebesar 980 ribu rupiah.
Kebetulan saya termasuk yg mendapatkan beasiswa Supersemar. Lumayan.
Buat orang kampung dan rakyat kebanyakan, bayar SPP sebesar itu termasuk tidak ringan. Harus ada tambahan kenekatan untuk pergi ke Surabaya, hidup sebagai anak kost dengan jatah 100 ribu per bulan.
Seingat saya, waktu itu harga gabah masih sekitar 300 rupiah. Orang kampung tidak asing dgn sawah dan gabah. Mengapa ini perlu disebut? Sebab sebagian dari jumlah 980 ribu rupiah itu adalah dari hasil jual gabah.
Jika harga gabah sekarang 7 ribu rupiah, angka UKT yang setaraf waktu itu adalah 120 ribu dikalikan 23. Berarti 3,3 juta rupiah.
Karena nekat belajar nulis di koran, setidaknya sejak semester 3, saya sudah punya penghasilan tambahan setidaknya 75 ribu tiap bulan. Kadang lebih karena tulisan nongol di beberapa koran. Nulis di koran jelas bermotivasi utama kejar honor.
Sebagai mahasiswa, penghasilan dari honor tulisan sangat membantu. Kuliah lancar, kegiatan non kuliah juga berjalan baik.
Bayangkan sekarang, jika UKT lebih dari 3,3 juta rupiah per semester dan uang bulanan sebagai anak kost sekitar 2 juta rupiah (20 x 100 ribu), keluarga kampung level apa yang bisa mengirim anaknya kuliah.
Belum lagi kalau UKT sampai ada yang belasan juta atau bahkan puluhan juta. Orang kampung kebanyakan pasti sudah ngeri lihat angkanya. Akan takut dengan gambaran horor itu.
Generasi mahasiswa kampus tahun 70-an dan 80-an pasti ceritanya lebih bernada “kepahitan”, “kenekatan” dan “keserderhanaan”. Yang penting berani daftar, nekat kuliah apapun kesukaran yang dihadapinya.
Tetapi memang proses inilah yang membuat mereka bisa memperbaiki nasib, termasuk nasib keluarganya. Mereka pula yang telah ikut berkontribusi besar karena kemudian mengisi birokrasi, jalur politik, akademis-intelektual, aktivis advokasi dan lain sebagainya.
Anak-anak rakyat inilah yang terbantu akses pendidikan tinggi oleh negara yang bikin kebijakan SPP relatif terjangkau.
Outputnya adalah orang2 terdidik yang ikut menjadi turbin penggerak perubahan sosial, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Orang-orang itu sekarang ada di kampus dan di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk di Kementerian yg dipimpin Pak Menteri Nadiem juga sekarang ini adalah produk dari kebijakan lama yg agak “ramah biaya” itu.
Jika sekarang UKT dinaikkan secara tidak terukur (baca : meroket), akses pendidikan tinggi akan makin sempit bagi anak-anak orang biasa.
Anak-anak rakyat akan terkena “tersierisasi” pendidikan tinggi. Statemen pejabat tinggi Kementerian bahkan menyatakan tentang tersier ini. Kampus akan lebih ramah bagi kalangan berada. Anak-anak dari orang-orang yang “kurang ada” akan makin kecil kesempatannya. Ini adalah tragedi!
Jadi, Yth Pak Menteri Nadiem, meskipun dibilang kebijakan ini hanya untuk mahasiswa baru, saya dan banyak orang yg lain, merasa bahwa argumentasi itu bukanlah argumen.
Mahasiswa baru akan segera menjadi lama pada tahun berikutnya.
Jadi, tolong kebijakan ini dikoreksi. Kembalikan pada semangat pendidikan tinggi “untuk semua”, bagi sebanyak mungkin anak rakyat Indonesia. Itu makna pendidikan yang merdeka dan membebaskan. Bukankah Pak Menteri bikin kebijakan Kampus Merdeka? Yakinlah, UKT yang meroket bikin Kampus Merdeka menjadi batal, karena bikin banyak anak-anak rakyat hilang harapan untuk memasukinya.